Opini,kahmibengkulu.com – Proses kreatif Ahmad Sadali dalam melahirkan karyanya, tak sama dengan beberapa seniman atau pelukis tanah air lainnya. Dengan Dullah, misalnya. Pelukis potret favorit Presiden Sukarno ini, sebagaimana penuturan Kok Poo, salah satu muridnya, hampir setiap malam selalu melukis. Dullah melukis apa pun kecuali gambar binatang. Sementara Sukarno, Presiden RI pertama yang juga memiliki keahlian dalam dunia seni rupa, terkadang bergegas menyapu warna di atas kanvas bila melihat spot yang indah. Saat melihat lokasi yang indah di pandang mata, sang putra fajar ini enggan beranjak dari sana. Lalu bagaimana dan seperti apa proses kreatif Ahmad Sadali dalam melahirkan karya-karyanya?
“Saya terbiasa melukis setiap selesai sembahyang subuh hingga pukul sembilan pagi. Lukisan-lukisan yang dihasilkan itu umumnya diilhami dari pengajian yang dilakukan beberapa saat setelah sembahyang subuh. Ketika mengaji itu terkadang ada ayat yang begitu menyentuh. Langsung saya tuliskan ayat itu, saya resapi maknanya lewat lukisan,”kata Ahmad Sadali saat menceritakan proses kreatifnya pada majalah Tempo, edisi 10 September 1983.
Sepulangnya mengajar dari ITB, pelukis yang juga Guru Besar ini melanjutkan kembali lukisannya yang belum selesai itu pada jam 2 siang. “Sinar matahari terlalu indah terutama untuk melukiskan warna-warna kebesaran Allah,”katanya. Karena kebiasaannya melukis setiap selesai sembahyang subuh itu, oleh Majalah Tempo, ia diberi julukan Pelukis Subuh.
Kebiasaan Ahmad Sadali melukis setelah subuh juga diceritakan Oie Hong Djien dalam Seni dan Mengoleksi Seni. Oie Hong Djien menceritakan bahwa maestro pelukis dekora magis, Widayat, pernah bertanya kepada Ahmad Sadali, bagaimana lukisannya bisa mempunyai isi yang begitu dalam. Jawabannya, sebelum melukis, murid dari Ries Mulder ini melakukan ritual sembahyang terlebih dahulu. Terutama setelah sholat subuh.
Kedalaman makna memang melekat pada lukisan-lukisan yang lahir dari tangan Ahmad Sadali. Perintis Abstrakisme di Indonesia ini mengemukakan, bahwa penciptaan karya seni sama sekali bukan persoalan dunia material yang obyektif. Ekspresi seni merupakan representasi dari apa yang disebutnya dengan interaksi realitas luar dan realitas dalam. Esensi, menurut Ahmad Sadali, berada pada realitas dalam dan berkaitan dengan kondisi mental manusia (Lihat Jim Supangkat dalam Ikatan Silang Budaya : Seni Serat Biranul Anas).
Ahmad Sadali juga beranggapan bahwa ada keterhubungan antara Al-Qur’an dengan seni rupa. Menurutnya, manusia itu tak hanya berpikir saja, melainkan juga beremosi alias berdzikir, dan jalan ini bisa lewat seni rupa. Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi menulis, bagi Ahmad Sadali, karya seni lukis yang telah dihasilkannya adalah perwujudan takbir, tahmid, dan rasa syukurnya kepada Allah. Dan itulah filosofi kesenian yang diusung oleh Ahmad Sadali.
Perjalanan Ahmad Sadali Menjadi Pelukis
Tak ada sosok yang bisa menjelaskan secara lebih detail, menurut hemat saya, terkait dengan tahapan perjalanan Ahmad Sadali menjadi pelukis, selain Abdul Hadi WM. Sastrawan kelahiran Sumenep itu begitu rinci memaparkan tahapan-tahapan perjalanan Ahmad Sadali menjadi pelukis dari sejak pertama kali ia menapaki dunia seni rupa hingga menjadi maestro dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Budaya Islam, Abdul Hadi WM menyamakan perjalanan Ahmad Sadali menjadi pelukis hampir sama dengan perjalanan para pelopor lukisan kaligrafi di negeri Islam lain seumpama Shakir Hasan di Iraq dan Hossein Zenderoudi di Iran. Abdul Hadi WM bahkan memetakan empat tahapan yang dilalui oleh Ahmad Sadali hingga ia menapaki tangga puncak sebagai perintis dari aliran abstrakisme Indonesia.
Pada tahap pertama, perjalanan keruhaniannya di bidang seni lukis dimulai saat ia melukis dengan gaya realis. Gaya pertama Ahmad Sadali dalam melukis ini merupakan hal yang wajar mengingat guru-gurunya di Seni Rupa mengajarkan bahwa syarat menjadi pelukis yang baik ialah dapat melukis objek-objek di alam zawahir (fenomenal) dengan tepat sesuai dengan bentuknya yang tampak di mata. Pada tahap pertama ini, Ahmad Sadali sering melukis pemandangan, alam benda, figur dan gabungan ketiganya. Di tahap ini, Sadali melihat seni kurang lebih sebagai memesis (tiruan) atas bentuk-bentuk kasat mata atau menggunakan pendekatan bahwa seni ialah representasi (perupaan kembali) atas hal-hal yang dilihatnya di alam inderawi. Namun, di tahap ini juga kecenderungan abstraknya sudah mulai tampak.
Pada tahap kedua, dimulai sejak 1953 hingga 1956. Di tahap ini, Ahmad Sadali mulai berusaha untuk melepaskan diri dari doktrin seni realis. Ia melihat kenyataan atau dunia yang disajikan dalam karyanya sebagai suatu dunia baru, yaitu alam ciptaan pribadi seniman. Di tahap ini, abstraksi mulai memainkan peranan pentingnya. Garis, warna, dan bidang dalam lukisan-lukisannya mulai menyingkirkan dan menerobos bentuk-bentuk lahir objek.
Kemudian pada tahap ketiga, dimulai sejak 1957 hingga 1962. Di periode ini, Sadali benar-benar mencurahkan perhatiannya pada lukisan abstrak. Menurut Abdul Hadi WM, Ahmad Sadali dipengaruhi oleh Jacques Villon, seorang pelukis abstrak kenamaan Prnacis. Karena aliran abstrak di Indonesia ini dipelopori oleh Ahmad Sadali, kemudian diikuti oleh murid-muridnya di ITB, maka aliran seni lukis abstrak ini dikenal sebagai Mazhab Bandung.
Pada tahap keempat dari suluk-nya Ahmad Sadali dalam seni lukis dimulai sejak tahun 1963 sampai dengan 1968. Di tahap keempat ini Ahmad Sadali sudah banyak melakukan berbagai eksperimentasi. Ia tinggalkan objek alam, dan perhatiannya dipusatkan pada abstraksi pikiran dan imajinasi. Setelah itu, di tahap kelima, barulah ia menampilkan diri sebagai pelukis kaligrafi di mana ia mulai menggunakan warna emas sebagai simbol cahaya yang sangat hakiki dalam seni lukis Islam sebagai lambang pencerahan kalbu. Tahap kelima ini berkisar dari tahun 1968 hingga 1987. Gunungan Pertama dengan Sisa-sisa Emas adalah lukisannya yang terbaik di tahap ini.
Ahmad Sadali versus Lekra
Berdasarkan penuturan Abdul Hadi WM, sepanjang kariernya sebagai pelukis, Ahmad Sadali tak pernah sepi dari terjangan ombak. Bahkan kerap ia mendapat tentangan, kritik, kecaman dan serangan dari seniman dan pelukis lain. Terutama saat ia mencurahkan perhatiannya pada lukisan-lukisan bergaya abstrak. Seniman dan pelukis lain yang menyerang Ahmad Sadali, adalah mereka yang mengusung aliran seni dengan gaya realisme sosial, terutama mereka yang berkecimpung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Wadah berkecimpungnya seniman-seniman yang mendaku diri sebagai kelompok kiri ini mengusung ideologi seni untuk rakyat. Seniman-seniman yang bergabung dalam lembaga kebudayaan yang disebut-sebut sebagai underbouwnya Partai Komunis Indonesia ini, mengecam Ahmad Sadali dan menudingnya sebagai pelukis yang bergaya kebarat-baratan. Tak hanya itu saja. Lukisan-lukisan yang dihasilkan oleh Ahmad Sadali pun dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia.
Padahal, menurut Abdul Hadi WM, gaya lukisan abstrak sudah lama ada di Dunia Timur, terutama dalam tradisi seni di Dunia Islam. Hal ini bisa dilihat pada seni kaligrafi dan lukisan geometris. Bahkan munculnya seni abstrak di Barat, sedikit banyak dipengaruhi oleh lukisan Timur. Di luar itu semua, dikarenakan pergulatannya dengan lukisan-lukisan abstrak, Ahmad Sadali pada akhirnya menyadari akan relevansi seni kaligrafi Islam. Unsur-unsur kaligrafis itulah yang kemudian membuat corak lukisan Ahmad Sadali memiliki corak religius.
Oleh : Muhammad Shofa As-Syadzili*
Sang Pelukis Subuh II Founder Lingkar Penulis HMI II Blogspot
*Penulis adalah Kerani Arsip Historia HMI
Sumber : Historiahmi